Rabu, 24 November 2010

2300 gajah punah di Aceh

Monday, 22 November 2010 06:37

IDI RAYEUK - Dari 23 kabupaten dan kota di Aceh, 15 diantaranya kini menjadi sarang dan rawan konflik gajah. Sementara populasi gajah kini hanya tersisa 700 ekor dari 3000 ekor sebelum tahun 1980.

Lima belas kabupaten yang rawan konflik gajah, diantaranya Aceh Selatan, Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara, Bener Meriah, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, dan Subulussalam.

Manager Operasional Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL), Badrul Irfan, mengatakan kerugian yang diderita sangat besar, baik secara ekonomi dengan rusaknya lahan pertanian, rumah, serta korban jiwa.

"Konflik satwa sering berakhir dengan terbunuhnya satwa, ditangkap atau terpisahnya antara beberapa individu dengan kelompoknya," kata Badrul, tadi malam.

Penyebab utama konflik ini, menurutnya, terganggunya habitat gajah, baik berubah menjadi lahan pertanian, perkebunan, transmigrasi juga pembangunan fasilitas umum seperti jalan sehingga memotong habitat satwa tersebut,” terangnya.

Sebelum tahun 80-an, seluruh gajah di Aceh satu kesatuan populasi yang besar dengan jelajah hampir seluruh daratan Aceh. Namun, setelah tahun 1980-an, seiring laju pembukaan kawasan hutan dan pembangunan jalan, populasi ini terpecah menjadi beberapa bagian.

Diantaranya Sikundur (Kabupaten Aceh Tamiang), Kappi (Kabupaten Gayo Lues), Serbajadi (Kabupaten Aceh Timur), Samarkilang (Bener Meriah), Bengkung (Aceh Selatan), Geumpang (Kabupaten Pidie), Beutong (Nagan Raya) dan Kluet (Aceh Selatan).

Dalam hal itu, terang Badrul, sangat diperlukan upaya serius dan konsisten untuk melindungi satwa tersebut dari kepunahan. Karenanya, dalam hal itu BPKEL telah berhasil menyusun draf protokol konflik manusia-gajah di provinsi Aceh.

Penyusunan tersebut, kata badrul, diinisiasikan BPKEL sejak setahun terakhir. Draft protokol yang telah dihasilkan saat ini sudah disampaikan ke Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, guna disahkan menjadi peraturan resmi yang akan menjadi pedoman setiap pihak.

Badrul mengatakan, tujuan penyusunan protokol tersebut adalah selain sebagai pedoman penanganan dan pencegahan konflik sekaligus mencegah kerusakan dan kerugian yang diderita manusia maupun satwa lainnya.

“Bagaimanapun, gajah salah satu satwa penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem, diantaranya sebagai penyebar jenis tanaman hutan,” kata Badrul sembari menambahkan, gajah juga dapat dimanfaatkan untuk membantu tugas manusia.

“Belakangan gajah dianggap hama, karenanya kita menyayangkan jangan dianggap pengganggu kehidupan manusia,” terang Badrul lsembari mengatakan, intenisitas konflik satwa terus menerus meningkat setiap tahunnya.

sumber : waspada online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar